Matahari Redup - Pertanda Akhir Zaman atau Perubahan Iklim Global?

Sekelompok peneliti astronomi belum lama ini menemukan kondisi yang mengejutkan tentang pusat tata surya kita, Matahari meredup. Oleh para ilmuwan, penurunan aktivitas bintang tersebut diperkirakan menandakan dirinya telah memasuki usia paruh baya.


Proses lahirnya matahari diperkirakan terjadi sekitar 4,6 miliar tahun yang lalu. Saat itu terjadi penurunan gravitasi pada suatu wilayah dengan materi berbentuk seperti awan kabut. Sebagian besar materi tersebut lalu memadat dan berkumpul di tengah wilayah tadi. Sementara sisanya berputar mengelilinginya seperti cakram, yang kelak menjadi tata surya. Dan akhirnya pada bagian pusat tadi mulai terjadi fusi termonuklir di intinya, sehingga menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai Matahari. Para ilmuwan sejak lama memperkirakan, dalam setiap detiknya, terjadi proses fusi sekitar 620 juta ton metrik hidrogen di dalam inti Matahari.

Sebagai pusat tata surya kita, Matahari sebagai bintang utama, juga masih diandalkan sebagai sumber energi utama bagi banyak mahluk hidup di Bumi. Namun belum lama ini, Matahari meredup sehingga tampak jauh lebih tidak aktif daripada bintang-bintang serupa lainnya. Sebagaimana yang ditemukan oleh sebuah tim astronom internasional, Timo Reinhold dari Max Planck Institute for Solar System Research dan rekannya. Mereka membuat penemuan tak terduga setelah mempelajari data jangka panjang yang dikumpulkan oleh Teleskop Luar Angkasa Kepler. Temuan mereka dapat memberi para astronom perspektif yang lebih luas tentang evolusi Matahari dan berkesimpulan bahwa bintang kita berada dalam usia paruh baya saat ini.

Berabad-abad pengamatan Matahari menunjukkan bahwa jumlah bintik matahari berubah dalam siklus yang tetap dan waktu yang bervariasi. Semakin banyak bintik matahari berarti lebih banyak aktivitas magnetik di permukaan Matahari dan menimbulkan peristiwa seperti semburan lidah api. Fenomena ini dapat menyebabkan badai matahari di Bumi yang dapat mengganggu beberapa teknologi. Bintang utama lainnya seperti Matahari juga diperkirakan memiliki variasi yang serupa. Tetapi sampai sekarang baru sedikit yang diketahui tentang mereka dibandingkan dengan Matahari.

Bercak pada bintang lain terlalu kecil untuk dapat diamati dari Bumi, namun pergerakannya pada permukaan bintang menyebabkan variasi kecerahan berkala yang dapat diamati. Dan hal ini dapat digunakan untuk menghitung aktivitas magnetik. Untuk tim Reinhold, efek ini memberikan peluang unik untuk membandingkan aktivitas Matahari dengan bintang-bintang serupa dengan menggunakan Teleskop Luar Angkasa Kepler.


Kecerahan waktu bervariasi

Lebih dari empat tahun, instrumen mengukur kecerahan waktu yang bervariasi dari 150.000 bintang sekuens utama ketika mencari exoplanet. Pada saat yang sama, pesawat ruang angkasa Gaia ESA, mengukur gerakan dan posisi bintang di seluruh galaksi dengan akurasi yang sama mengagumkannya.

Dengan menggabungkan dan menganalisis kumpulan data ini, Reinhold dan rekannya mengidentifikasi 369 bintang memiliki suhu, massa, umur, komposisi kimia, dan periode rotasi yang sama dengan Matahari. Mereka menemukan bahwa terlepas dari kesamaan ini, sebagian besar bintang menampilkan tingkat variasi kecerahan yang jauh lebih tinggi, sekitar lima kali lebih tinggi daripada Matahari. Tim tersebut mencatat bahwa perbedaan ini dapat muncul karena variasi kecerahan tadi, mungkin terlalu lemah untuk dideteksi Kepler. Sehingga data tersebut oleh tim peneliti dihilangkan dari analisisnya dan meningkatkan rata-ratanya.

Nilai rata-rata tersebut bisa menjadi indikasi jika Matahari bisa saja melalui periode aktivitas yang sama di masa lalu. Gagasan ini sejalan dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa menjelang pertengahan kehidupan mereka, bintang-bintang urutan utama dapat mematikan siklus aktivitas mereka sambil mempertahankan kecepatan rotasi mereka. Tim Reinhold sekarang berharap untuk mengeksplorasi ide-ide ini secara lebih rinci melalui pengukuran mendatang oleh instrumen termasuk TESS dan PLATO. Dimana hal tersebut diharapkan berpotensi membuka wawasan baru tentang bagaimana Matahari akan berevolusi di masa depan.

zaman es-baru

Peluang Timbulnya Bencana
Para ilmuwan masih memerlukan penelitian lebih lanjut lagi, guna mempelajari dampak dari Matahari meredup. Meskipun ini adalah fenomena yang terpisah, sementara ini bisa saja hal tersebut dapat memicu terjadinya El Nino dan lawannya La Nina yang ekstrim. Dimana hal tersebut akan berdampak pada naik atau turun suhu global hingga 2 derajat Celsius.

Perubahan dari satu atau dua derajat saja, mungkin tidak tampak seperti masalah besar. Namun bila pola ini timbul, banjir, badai, dan kekeringan akan menjadi lebih buruk dan lebih sering terjadi. Terutama di Afrika, Australia, Indonesia, dan India yang sudah sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Pemanasan dapat memicu kekeringan di Tanduk Afrika dan India selatan dan peningkatan curah hujan di Indonesia dan Australia utara.

Sebaliknya pendinginan dapat menciptakan efek sebaliknya. Misalnya, di semenanjung India dapat mengalami peningkatan curah hujan. Efeknya dapat menimbulkan bencana, terutama pada daerah yang bergantung pada pertanian tadah hujan. Di mana setiap perubahan curah hujan bisa mendatangkan bencana bagi petani. Tentunya hal ini dapat mengancam ketahanan pangan bagi puluhan ribu orang.

Share this:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Singkat Prostitusi Dari Masa ke Masa

Pertimbangan Sebelum Membeli Komputer Stick Intel

Reddit Ancam Publisher yang Memasang Anti Ad-Blocker

Azus Zenphone Selfie Bagi Penggemar Selfie

Perilaku Seksual Menyimpang Anjing Laut