Wacana Mengadopsi Aturan Swedia Tentang PSK

Di Swedia, prostitusi dianggap sebagai kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Berdasarkan undang-undang yang disahkan tahun 1999, pengguna jasa prostitusi bisa dibui, sementara penyedia jasa alias pekerja seks komersial justru dilindungi dan diberi terapi.
Lima tahun sejak itu, jumlah pekerja seks komersial pun turun dramatis. Beberapa kota di salah satu negara Skandinavia itu pun bersih dari prostitusi. Angka human trafficking atau perdagangan manusia pun nol.
Angka yang nihil itu berbanding terbalik dengan statistik 15.000-17.000 wanita asing yang diperdagangkan tiap tahun di negara tetangga mereka, Finlandia. Kunci dari solusi Swedia adalah perubahan paradigma.
Swedia menerapkan sistem yang dikenal sebagai "model Nordik." Bukan wanita penjual jasa atau PSK yang menjadi sasaran hukum, melainkan pria dan wanita yang jadi pengguna atau pembeli jasa. PSK, menurut hukum Swedia, adalah korban yang butuh pertolongan. Seks berbayar adalah pelanggaran hak asasi manusia di Swedia.
Swedia menyediakan skema dana sosial yang komprehensif, membantu wanita yang ingin berhenti sebagai PSK. Publik juga dididik untuk tidak memiliki stigma negatif terhadap para PSK dan mantan PSK.
Strategi unik Swedia ini kemudian diikuti oleh bangsa Nordik lainnya: Norwegia dan Islandia. Enam bulan sejak menerapkan aturan ini di tahun 2009, perdagangan manusia ke Norwegia melorot drastis. Penelitian selama enam bulan, yang dikutip Reuters pada Agustus 2014, memperlihatkan hasil menjanjikan.

Laporan itu menyebut penegakan hukum, yang mengkombinasikan UU antiperdagangan manusia dan permuncikarian, membuat Norwegia menjadi negara yang tidak menarik bagi para penyelundup wanita. Prostitusi di jalanan Oslo, kota terbesar Norwegia, berkurang sampai 60 persen dari saat sebelum UU disahkan.

Bagi warga Norwegia, hukum itu juga mengikat saat mereka berada di negara lain, sekalipun jika negara itu melegalkan prostitusi. Misalnya jika ada warga Norwegia yang menggunakan jasa PSK di Jerman, maka dia harus siap ditangkap dan dipenjara saat kembali ke Norwegia.
Disiplin dalam penegakan hukum tidak diragukan. Ancaman penjara enam bulan atau denda sebesar 25.000 crown, sekitar Rp 13,6 juta bagi para pengguna PSK, sukses menurunkan permintaan jasa.
"Laporan ini memperlihatkan bagaimana UU telah sangat berkontribusi," kata Steinar Stroem. Profesor dari Universitas Oslo itu menyebut kriminalisasi terhadap pengguna PSK berhasil mengurangi permintaan dan praktik prostitusi di Norwegia. "Seperti yang diinginkan," katanya.
Namun sebagian besar tetangga-tetangga Swedia masih menempuh cara lain untuk mengatasi problem prostitusi ini.

Jerman, justru memilih melegalkan prostitusi atau industri seks. Tahun 2002, pemerintahan liberal Partai Sosial Demokrat berhasil meloloskan undang-undang yang melegalkan prostitusi.
Hanya butuh waktu beberapa tahun kemudian, terjadi ledakan industri seks di Jerman. Jerman menjelma jadi negara tujuan utama wisata seks di Eropa. Rumah-rumah bordil mewah menjadi pemandangan sangat umum. Sebut saja nama seperti Pascha, rumah bordil bertingkat 12 di Cologne, yang tak ubahnya seperti supermarket seks.

Di kota kecil seperti Saarbrucken, populasi sekitar 180.000 jiwa, sedikitnya terdapat 100 rumah bordil. Tidak hanya rumah-rumah bordil yang berjamuran. Ada juga bilik-bilik seks yang bebas dikunjungi saat makan siang. PSK bahkan bisa dipesan dengan aplikasi lewat ponsel. Ada pula lelang keperawanan di Internet.
Amos Roberts dalam artikelnya di laman news.com.au, Juni 2014, menyebut industri seks di Jerman bernilai $20 miliar atau Rp260 triliun per tahun. Tidak kurang dari 1,5 juta pria di Jerman menggunakan jasa PSK setiap hari. Pria bisa sekadar mencuci mata atau melakukan seks tanpa batas dengan wanita sebanyak apapun, cukup hanya membayar satu tarif sebesar 99 euro di rumah bordil di Berlin.
Jelas, "Bukan itu yang ada di pikiran Kanselir Gerhard Schroder, saat dia merayakan produk UU liberal barunya (yang melegalkan industri seks di tahun 2002)," tulis Nisha Lilia Diu, dalam artikelnya di laman Telegraph, Januari 2015.

Saat itu, pemerintahan Schroder justru berharap UU itu jalan perbaikan kondisi kerja bagi para wanita PSK. PSK bisa memiliki kontrak pekerja, asuransi kesehatan dan dana pensiun. Faktanya, kini situasi perlindungan PSK memburuk.

Diperkirakan ada sedikitnya 400.000 PSK di Jerman. Angka yang besar ini membuat persaingan sangat ketat; harga jasa pun jatuh. Saat ini biaya PSK adalah 50 euro dan terus menjadi semakin murah. "Jerman gagal melakukan eksperimen," ucap Nisha.

Legalisasi industri seks, menjadikan batasan antara pengelola PSK yang legal dengan aksi eksploitasi wanita menjadi kabur. Upaya menghentikan perdagangan atau penyelundupan wanita juga semakin sulit.

Pakar hukum Jerman Guntram Knop yang dikutip Nisha, menyebut baik rumah bordil

Pergerakan bebas warga yang tergabung dalam Uni Eropa membuat Jerman menjadi "surga" bagi PSK dari negara-negara Eropa lainnya. Mereka umumnya datang dari belasan negara-negara Eropa Timur yang bergabung dengan Uni Eropa sejak 2004. Sebagai warga Uni Eropa, mereka bebas berkunjung atau tinggal di Jerman, tanpa perlu menjadi warga negara Jerman. Tidak bisa dihindari, perdagangan manusia untuk dijadikan PSK semakin menjadi-jadi.
maupun PSK tidak menginginkan kontrak kerja, karena tidak ingin terikat pada biaya untuk asuransi dan dana pensiun. "Asuransi kesehatan dan dana pensiun, tidak bermanfaat bagi wanita yang datang ke Jerman hanya untuk beberapa pekan, tanpa ada tempat tinggal permanen di Jerman," kata Knop.
Kini, sebagian orang Jerman pun melirik ke utara, Model Nordik yang telah diterapkan Swedia. Petisi dan demonstrasi mendesak pengguna jasa seks dan muncikari dipidanakan merebak.


Model Nordik Juga Diragukan
Namun, Model Nordik bukan tanpa cela. Seorang mantan PSK yang kini menjadi penulis, Melissa Gira Grant, meragukan model Nordik. Menurutnya, strategi itu bagai cerita fiksi, karena hanya mengkriminalisasi satu bagian dari transaksi.

"Model itu membuat PSK dalam posisi limbung. Bagaimana mungkin PSK melapor pada otoritas, jika itu berarti membuat satu-satunya sumber pemasukan mereka dalam risiko," kata Melissa.

Dia menyarankan sistem yang berlaku di Inggris yang disebut sebagai "model Merseyside". Penjual dan pembeli jasa seks diizinkan, namun aktivitas di luar itu akan menjadi pidana karena akan dikategorikan sebagai kekerasan atau perdagangan manusia.

Model itu membuat para PSK dapat bekerjasama dengan polisi, untuk menemukan dan menangkap muncikari yang melakukan pemaksaan dengan kekerasan, mengeksploitasi PSK, serta perdagangan wanita.

Pada 2014, Inggris membongkar jaringan perdagangan wanita, yang dijalankan oleh kelompok orang-orang Rumania di London. Hukuman berat dijatuhkan, setara dengan perdagangan kokain.
Kubu Liberal yang berkuasa di Norwegia juga mengritik Model Nordik. Mereka ingin melonggarkan aturan ini. Kubu Liberal berargumen larangan menggunakan PSK tidak membantu menghilangkan prostitusi, sebaliknya menyebabkan aktivitas ilegal. Pengguna PSK tetap ada dan kini dilakukan secara rahasia. "Saya harap pemerintah berani mencabut larangan," kata wakil Liberal, Sveinung Rotevatn.

Peneliti sosial May-Len Skilbrei yang dikutip laman Nordic Page, Januari 2014, mengatakan model Nordic tidak berjalan dengan baik di Norwegia, karena pendekatan berbeda yang diterapkan polisi. "Di Bergen (Swedia—red), polisi berperan aktif mengidentifikasi korban, sementara di Oslo mereka hanya duduk dan menunggu. Ini yang menyebabkan hasil berbeda pada kedua kota," kata Skilbrei.
Lalu apa yang membuat Swedia berhasil, sementara Norwegia tidak?
"Hal yang luar biasa adalah, strategi Swedia tidak rumit sama sekali. Bahkan sangat sederhana, sehingga dengan cepat memicu pertanyaan, mengapa belum ada yang berusaha melakukan sebelumnya," kata Marie De Santis dari Women's Justice Center menulis di laman esnoticia.co.
Swedia menyediakan skema dana sosial yang komprehensif untuk membantu wanita yang ingin berhenti menjadi PSK. Swedia  memperlakukan PSK sebagai korban yang membutuhkan bantuan. Publik Swedia juga dididik memahami bahwa membeli jasa seks adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Memang keberhasilan Swedia ini tidak terjadi dalam hitungan bulan, tapi tahunan. Awal-awal UU disahkan tahun 1999, polisi hanya menangkap sedikit pengguna PSK di Swedia. Tidak putus asa, Swedia segera mengidentifikasi persoalan dan memecahkannya, yaitu bahwa penegak hukum tidak bekerja semestinya. Polisi diberi pelatihan dan perubahan orientasi agar turut menerima paradigma, bahwa prostitusi adalah bentuk kekerasan pria terhadap wanita.

Pemerintah Swedia menggelontorkan dana dalam jumlah besar, untuk pendidikan yang intensif bagi polisi, penuntut dan publik. Setelah beberapa tahun, negara itu dengan cepat memperoleh hasil yang diharapkan.

Perubahan paradigma adalah salah satu bagian tersulit. Swedia telah lama mengkriminalisasi kekerasan terhadap wanita, termasuk dalam pernikahan. Itu yang membuat beberapa negara terutama yang masih didominasi paham laki-laki lebih superior daripada perempuan, sulit meniru kesuksesan Swedia.

Bagaimana dengan Indonesia?
Sulit dikatakan akan berhasil memberantas prostitusi maupun pelanggaran hukum lainnya, selama kondisi kebanyakan masyarakat Indonesia masih di bawah standar ekonomi yang menjalankan aturan tersebut, misalnya pada tahun 2014 pendapatan perkapita rata-rata penduduk Indonesia adalah sekitar US$ 3.531 sedangkan untuk swedia adalah sekitar US$ 58.146, dimana pendapatan perkapita kita masih belum ada sepersepuluhnya, termasuk kesejahteraan aparat yang akan melaksanakannya, selama hal tersebut masih belum dapat direalisasikan oleh pemerintah, sulit rasanya untuk mewujudkan Indonesia yang bersih, aman maupun tertib....

Share this:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Singkat Prostitusi Dari Masa ke Masa

Pertimbangan Sebelum Membeli Komputer Stick Intel

Reddit Ancam Publisher yang Memasang Anti Ad-Blocker

Azus Zenphone Selfie Bagi Penggemar Selfie

Perilaku Seksual Menyimpang Anjing Laut